Nongkrong Menjadi Gaya Hidup Anak Muda

gambar orang nongkrong
Suasana Nongkrong di Malam Hari (Curup Ekspress)

Nongkrong Sebagai Simbol Anak Muda

Di kota-kota besar, nongkrong telah menjelma menjadi kebutuhan sosial yang tidak tertulis. Nongkrong bukan sekadar istirahat dari rutinitas, tetapi menjadi panggung untuk menunjukkan gaya hidup, selera, dan status sosial. Warung kopi kekinian, rooftop bar, atau kafe dengan interior estetik menjadi tempat utama anak muda untuk bersosialisasi sekaligus membangun citra diri. Di era media sosial, momen nongkrong tidak hanya berhenti di meja makan, tapi diabadikan dalam bentuk konten digital yang menyebar cepat.

Namun, di balik suasana santai dan candaan ringan, terdapat tekanan yang tidak terlihat. Bagi sebagian anak muda, hadir di ruang-ruang tersebut adalah bagian dari kebutuhan akan pengakuan sosial. Mereka merasa harus “tampil”, bahkan jika harus memaksa kemampuan finansial mereka.

Paylater, Solusi Instan yang Menjebak

Layanan “Buy Now Pay Later” (BNPL) atau paylater semakin populer karena memberi kemudahan transaksi tanpa perlu membayar di muka. Platform seperti GopayLater, Shopee Paylater, hingga Kredivo menawarkan opsi cicilan dengan proses cepat dan tanpa kartu kredit. Bagi anak muda yang ingin tetap eksis tanpa menguras isi dompet saat itu juga, paylater menjadi pilihan menarik.

Data dari PT Pefindo Biro Kredit (IdScore) mencatat bahwa hingga November 2024, generasi milenial dan Gen Z mendominasi pengguna layanan BNPL—masing-masing 48,27% dan 39,94%. Survei Katadata Insight Center bersama Kredivo juga menyebut bahwa 70,4% pengguna paylater adalah usia 18–35 tahun. Ini memperlihatkan betapa layanan ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup digital anak muda.

Namun, kemudahan itu datang dengan risiko. Banyak anak muda menggunakannya bukan untuk kebutuhan primer, melainkan gaya hidup: belanja fesyen (66,4%), peralatan rumah tangga (52,2%), elektronik (41%), dan kosmetik (32,9%). Mereka membeli lebih dari yang mampu mereka bayar, menumpuk cicilan, dan akhirnya terlilit utang.

Ketika Cicilan Menjadi Ancaman Finansial

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya pengguna paylater yang memiliki cicilan hingga 95% dari penghasilan bulanannya. Artinya, hampir seluruh gaji mereka habis hanya untuk membayar utang konsumtif. Ini tidak hanya mengganggu kondisi finansial, tapi juga berdampak pada kesehatan mental.

Psikolog Disya Arinda mengungkapkan bahwa pola konsumtif tanpa perencanaan keuangan yang matang dapat memicu kecemasan, stres, bahkan depresi. Anak muda yang seharusnya membangun fondasi ekonomi justru terjebak dalam siklus utang.

Suasana Coffe Shop (RRI.co.id)

Literasi Finansial dan Gaya Hidup Sadar

Fenomena ini menunjukkan perlunya edukasi finansial yang lebih membumi. Literasi keuangan harus dikemas dengan pendekatan yang relevan dengan gaya hidup anak muda. Bukan hanya soal menabung, tetapi bagaimana membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta memahami konsekuensi dari setiap keputusan finansial.

Beberapa langkah praktis bisa dimulai dari mencatat semua pengeluaran dan utang, menentukan skala prioritas pembayaran, hingga menghindari pembelian impulsif. Anak muda juga perlu didorong untuk membangun kebiasaan menabung dan mencari alternatif hiburan yang lebih hemat.

Selain itu, komunitas-komunitas kreatif bisa menjadi wadah gaya hidup baru yang lebih sehat secara finansial. Nongkrong di taman kota, diskusi buku, volunteering, atau proyek sosial bisa menjadi cara bersosialisasi yang tetap menyenangkan tanpa beban finansial.

Eksistensi Tak Harus Mahal

Nongkrong dan eksistensi adalah bagian wajar dari masa muda. Namun, ketika gaya hidup menjadi beban yang menjerumuskan ke dalam utang, saatnya kita meninjau ulang nilai-nilai sosial yang kita kejar.

Anak muda perlu memahami bahwa menjadi keren tidak selalu tentang tampil mewah, tetapi tentang menjadi bijak dalam menjalani hidup. Gaya hidup sederhana, sehat secara finansial, dan sadar sosial bisa menjadi tren baru yang lebih berkelanjutan. Karena sejatinya, eksistensi sejati bukan dibuktikan dari cicilan yang menumpuk, tapi dari keseimbangan hidup yang kita ciptakan.

Baca Juga : FOMO, JOMO, dan Kesehatan Mental di Era Gaya Hidup Digital

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *