Profesionalisme dan Kode Etik di Era Generative AI

Profesionalisme dan Kode Etik di Era Teknologi AI (Freepik).
Profesionalisme dan Kode Etik di Era Teknologi AI (Freepik).

Perkembangan teknologi di era saat ini terasa begitu cepat, bahkan terkadang melampaui bayangan kita sendiri. Setelah dunia dikejutkan oleh revolusi internet dan media sosial, kini hadir lagi gelombang baru bernama Generative AI kecerdasan buatan yang mampu menghasilkan teks, gambar, musik, hingga membuat keputusan yang cukup kompleks dan lain-lain. Kehadiran ChatGPT, Midjourney, atau Copilot membuat cara kita bekerja, belajar, dan berpikir berubah drastis. Mereka bukan lagi sekadar alat bantu, tapi sudah seperti “rekan kerja digital” yang menemani aktivitas kita sehari-hari.

Namun, di balik segala kemudahan dan inovasi itu, muncul pertanyaan penting “apakah para profesional di bidang Teknologi Informasi dan Komputer siap menanggung tanggung jawab etis di tengah kemajuan ini?” Ketika mesin bisa meniru perilaku dan pemikiran manusia, profesionalisme tidak cukup hanya diukur dari kemampuan teknis, tapi juga dari sikap moral dan kesadaran sosial dalam menggunakan teknologi secara bijak.

Perkembangan Generative AI

Saya percaya bahwa di era pesatnya perkembangan Generative AI, profesionalisme dan kode etik merupakan fondasi utama untuk memastikan teknologi digunakan dengan benar. Dengan kata lain, masa depan dunia digital tidak hanya ditentukan oleh seberapa pintar mesin dibuat, tapi juga oleh seberapa bijak manusia yang mengendalikannya.

Kita hidup di masa yang di mana hampir semua hal saling terhubung. Satu baris kode saja itu bisa berdampak pada jutaan orang. AI kini bisa mengenali wajah, menulis berita, dan lain sebagainya. Tapi dibalik kemudahan itu, muncul juga ancaman baru seperti kebocoran data, penyalahgunaan informasi, deepfake, hingga bias algoritma.

Organisasi seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) bahkan memperbarui AI Principles pada tahun 2024 untuk menegaskan bahwa pengembangan AI harus tetap menghormati privasi, keamanan, dan hak kekayaan intelektual (OECD, 2024). Prinsip ini penting agar inovasi tidak berubah menjadi ancaman bagi masyarakat.

Kita sering mendengar kasus-kasus penyalahgunaan teknologi, seperti deepfake yang merusak popularitas seseorang, atau bocornya data pribadi karena kelalaian pengembang. Semua itu menjadi bukti bahwa kemajuan teknologi tanpa etika bagaikan mobil tanpa rem cepat, tapi berisiko tinggi.

Menjadi profesional TIK bukan hanya soal menguasai bahasa pemrograman atau memahami sistem jaringan. Lebih dari itu, profesional sejati adalah mereka yang mampu memahami dampak sosial dari setiap baris kode yang mereka tulis.

Sayangnya, dalam dunia kerja saat ini, profesionalisme seringkali kalah oleh kepentingan keuntungan. Banyak perusahaan berlomba-lomba menciptakan produk yang viral tanpa memikirkan efek jangka panjangnya. Padahal, kepercayaan dari publik terhadap teknologi hanya bisa tumbuh jika orang di baliknya bekerja dengan rasa tanggung jawab.

Profesionalisme dan Kode Etik

Untuk menjaga integritas profesi, organisasi seperti ACM (Association for Computing Machinery) telah merancang Code of Ethics and Professional Conduct sejak 2018. Kode etik ini menjadi pedoman utama bagi para profesional di bidang TIK di seluruh dunia. Beberapa prinsip dasarnya meliputi:

  • Berkontribusi bagi kesejahteraan manusia.
  • Menghindari bahaya bagi pengguna atau masyarakat.
  • Bersikap jujur dan dapat dipercaya.
  • Menghormati privasi dan hak kekayaan intelektual.
  • Menghindari plagiarisme serta penyalahgunaan akses (ACM, 2018).

Ia berfungsi sebagai “kompas moral” yang menuntun setiap profesional agar berhati-hati dalam mengambil keputusan di dunia digital. Seperti yang disebutkan ACM (2018), “The Code is designed to inspire and guide the ethical conduct of all computing professionals.

Namun, memahami kode etik saja belum cukup. Sebuah penelitian terbaru menyebutkan bahwa mengetahui aturan etika tidak otomatis membuat seseorang mampu bertindak etis (Springer, 2025). Artinya, yang dibutuhkan bukan hanya hafalan, tapi juga kesadaran dan budaya etika yang benar-benar hidup dalam lingkungan kerja maupun pendidikan.

Sebagai mahasiswa Informatika, kita bukan hanya belajar membuat sistem, tetapi juga belajar menjaga nilai moral di baliknya. Maka, kesadaran etis perlu ditanamkan sejak dini. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menumbuhkan integritas pribadi. Hindari menyalin kode, data, atau hasil karya digital tanpa izin, termasuk dari AI.
  • Belajar dari kasus nyata. Analisis berbagai insiden kebocoran data, bias AI, atau pelanggaran privasi untuk dijadikan pembelajaran.
  • Aktif di komunitas etika digital. Ikut seminar, forum, atau kegiatan yang mengangkat isu tanggung jawab sosial teknologi.
  • Membangun inovasi yang beretika. Misalnya, membuat aplikasi yang membantu masyarakat rentan atau melindungi data pengguna.

Langkah Perkembangan Generative AI

Menurut saya, di tengah pesatnya perkembangan Generative AI, profesionalisme adalah benteng terakhir yang menjaga nilai kemanusiaan dalam dunia digital. Tanpanya, AI bisa menjadi alat yang justru merusak privasi, keadilan, bahkan kepercayaan masyarakat. Karena itu, perlu ada langkah nyata dari berbagai pihak:

  • Pemerintah, dengan memperkuat regulasi tentang penggunaan AI dan perlindungan data pribadi.
  • Perguruan tinggi, dengan memperluas kurikulum etika profesi dan riset mengenai ethical AI.
  • Perusahaan teknologi, dengan menerapkan audit etika internal dan transparansi algoritma.
  • Mahasiswa serta profesional muda, dengan menjadikan integritas sebagai bagian dari budaya kerja, bukan sekadar formalitas akademik.

Teknologi akan terus berkembang, tapi tanggung jawab moral tidak boleh tertinggal. Generative AI hanyalah alat, ia tidak punya empati atau hati nurani. Kitalah yang menentukan apakah teknologi ini akan membawa manfaat atau justru menimbulkan masalah.

Sebagai calon profesional TIK, mari jadikan profesionalisme dan kode etik bukan hanya teori dalam kuliah, tapi juga panduan dalam setiap langkah digital kita. Pada akhirnya, profesional sejati bukan hanya yang bisa menciptakan sistem canggih, tetapi yang mampu menjaga nilai kemanusiaan di dalamnya.

Nama: Nurlina Ambon
Prodi: Informatika
Universitas Muhammadiyah Malang
Asal Kota: Ambon

Baca Juga : Kreativitas sebagai Kunci Inovasi di Era Digital

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *