Film Women From Rote Island, Suara Korban Kekerasan Seksual

Ditayangkan dalam acara Busan International Film Festival 2023 Women From Rote Island (Instagram/@womenfromroteisland).
Ditayangkan dalam acara Busan International Film Festival 2023 Women From Rote Island (Instagram/@womenfromroteisland).

Film Women Rote Island dijadwalkan tayang pada Kamis (22/2/2024) di seluruh bioskop Indonesia. Film Women Rote Island sempat menjadi sorotan publik karena berhasil meraih piala untuk kategori Film Panjang Terbaik dalam ajang Piala Citra FFI 2023.

Baca Juga : Kreativitas sebagai Kunci Inovasi di Era Digital

Karya Jeremias Nyangoen

Karya ini disutradarai oleh Jeremias Nyangoen, yang sebelumnya dikenal sebagai penulis naskah film Rumah Merah Putih dan Sang Dewi. Bahkan, film ini berhasil membawa semua gelar juara dari nominasi tersebut mulai dari juara kategori Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, dan Pengarah Sinematografi Terbaik.

Sebelum resmi tayang di seluruh bioskop Indonesia film ini sudah lebih dahulu tayang di beberapa Festival film Internasional. Salah satunya dalam gelaran Busan International Film Festival pada 7 Oktober 2023. Film Women From Rote Island mengusung genre drama thriller yang terinspirasi dari kisah nyata mengenai kasus kekerasan seksual. Kemudian, tayang di Asian Film Festival Barcelona pada 4 November 2023, serta ditayangkan dalam QCinema International Film Festival 2023.

Mengutip dari Antara, film ini mengajak penonton menyaksikan kenyataan pahit terkait kekerasan seksual yang terjadi di wilayah Indonesia Timur. Termasuk di dalamnya potret sistem hukum, kondisi sosial, serta budaya yang masih menjadi kendala bagi para korban dalam memperoleh keadilan.

Di sisi lain, film ini juga menampilkan panorama alam Rote Ndao yang memesona. Sang sutradara, Jeremias Nyangoen, menggunakan teknik kamera one shot long take untuk menghadirkan pengalaman visual yang lebih mendalam. Kemudian, Keindahan alam yang terlihat dalam film mulai dari bukit hingga pantai dengan langit biru yang memesona.

Film ini mempunyai durasi tayang sekitar 1 jam 48 menit dan hanya bisa disaksikan oleh penonton berusia 17 tahun ke atas. Pasalnya, di film ini terdapat beberapa adegan yang mungkin bisa membuat penonton sedikit merasa tidak nyaman. Selain itu, Jeremias turut mengangkat unsur adat dan budaya khas Rote, mulai dari keindahan kain tenun hingga bentuk rumah tradisional yang masih terbuat dari kayu dan bambu.

Sinopsis Film Women From Rote Island

Cuplikan film Women from Rote Island, (Bintang Cahaya Sinema).
Cuplikan film Women from Rote Island, (Bintang Cahaya Sinema).

Women From Rote Island (WFRI) mengisahkan tentang Orpa, seorang ibu yang baru saja kehilangan suaminya. Ia tinggal bersama tiga anak perempuannya sebagai orang tua tunggal di sebuah kampung yang masih menjunjung tinggi aturan adat, diskriminasi gender, dan budaya patriarki.

Lingkungan tempat tinggal Orpa senantiasa menempatkan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki. Martha, anak sulung Orpa, digambarkan kembali dari Malaysia setelah bekerja secara ilegal sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Ia pulang dengan trauma mendalam akibat menjadi korban kekerasan seksual oleh majikannya.

Keadaannya semakin menyedihkan ketika ia kembali ke kampung halamannya yang kental dengan budaya patriarki dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.  Begitu pun adiknya yang bernama Bertha, yang harus menerima nasib buruk hanya karena sebagai perempuan yang mencoba melawan.

Di tengah kondisi itu, Orpa terguncang dan kalut, serta merasa gagal sebagai seorang ibu. Namun, dorongan dari keluarga dan para perempuan di lingkungannya, dia melawan dan mencari keadilan atas apa yang telah menimpa pada kedua putrinya. 

Pandangan para tetua adat yang menyalahkan Orpa atas musibah yang menimpa keluarganya. Mereka menilai bahwa segala kemalangan terjadi karena Orpa terlalu sering keluar rumah, padahal suaminya baru saja meninggal. Para tetua meyakini bahwa para leluhur murka, alih-alih menyadari bahwa akar persoalan terletak pada struktur sosial yang patriarkis.

Adegan-adegan yang menggambarkan kekerasan dan pelecehan seksual ditampilkan secara gamblang, tidak disamarkan dengan gaya sinematik yang halus. Di satu sisi, hal ini memang dapat mengejutkan penonton karena beberapa adegannya cukup sadis dan berdarah. Namun, di sisi lain, film tampaknya memang ingin menampilkan persoalan kekerasan perempuan yang sudah darurat dengan jujur dan apa adanya.

Pemain Women From Rote Island

Cuplikan film Women from Rote Island, (Bintang Cahaya Sinema).
Cuplikan film Women from Rote Island, (Bintang Cahaya Sinema).

Konflik itu semakin meyakinkan dengan kemampuan akting para pemain yang orisinal sekaligus autentik. Film Women From Rote Island diperankan oleh warga asli Rote yang tidak memiliki latar belakang akting profesional. Namun, performa mereka dalam memerankan karakter terasa nyaris sempurna dan sangat meyakinkan. Bahkan sekitar 90% pemain Film Women From Rote Island belum berpengalaman.

Dua nama yang layak mendapat apresiasi tinggi adalah Merlinda Dessy Adoe sebagai pemeran Orpa dan Irma Novita Rihi sebagai pemeran Martha. Sebagai tokoh utama, keduanya berhasil menghidupkan setiap adegan dalam film dengan sangat meyakinkan.

Terutama Irma yang meskipun memiliki porsi dialog yang minim, mampu menyampaikan emosi karakter Martha secara mendalam melalui ekspresi wajah dan gerak tubuh yang menawan serta nyaris sempurna.

Data Kekerasan Seksual di Indonesia

Data korban perempuan menurut usia dan pendidikan, (kemenpppa.go.id).
Data korban perempuan menurut usia dan pendidikan, (kemenpppa.go.id).

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), hingga April 2025, tercatat 5.949 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Meskipun hanya tercatat 15 kasus yang dianggap sebagai kekerasan seksual, angka ini diyakini jauh lebih besar. Karena, banyak korban yang enggan melapor akibat rasa takut, tekanan sosial, dan budaya patriarki yang masih kuat.

Sementara itu, data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan bahwa sejak 1 Januari hingga 21 April 2025, terdapat 6.918 laporan kekerasan, dan 5.950 kasus (86,01%) di antaranya melibatkan perempuan sebagai korban.

Pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal batas usia. Remaja perempuan menghadapi risiko tinggi dalam masa pencarian jati diri, sering kali menjadi target eksploitasi seksual. Menurut situs kemenpppa.go.id persentase detail Korban Perempuan Kategori Umur terdiri dari, usia 0-5 tahun 5.7%, usia 6-12 tahun 16.4%, usia 13-17 tahun 33.6%, usia 18-24 13.0%, usia 25-44 26.2%, usia 45-59 4.7%, dan usia 60+ 0.5%.

Pelecehan terhadap perempuan dapat terjadi di berbagai ruang, baik privat maupun publik. Menurut situs kemenpppa.go.id persentase detail Korban Perempuan menurut Tempat Kejadian terdiri dari, Rumah Tangga 61,4%, Tempat Kerja 1.7%, Lembaga Pendidikan Kilat 0.1%, Fasilitas Umum 9.4%, Sekolah 5.1%, dan Lainnya 22.4%.

Di tempat kerja, perempuan rentan menjadi korban pelecehan verbal, fisik, hingga kekuasaan yang disalahgunakan oleh atasan atau rekan kerja. Menurut situs kemenpppa.go.id persentase detail Korban Perempuan menurut Pekerjaan terdiri dari, Pelajar sekitar 45.2%, Ibu Rumah Tangga 18.1%, Swasta atau Buruh sekitar 11.6%, PNS, POLRI atau TNI sekitar 2.6% dan pedagang, Nelayan atau Petani sekitar 1.5%.

Menurut situs kemenpppa.go.id persentase detail Korban Perempuan menurut Pendidikan terdiri dari TK/Paud 1.9%, SD 18.6%, SLTP 21.9%, SLTA 30.9%, dan Perguruan Tinggi 11.0%.

Suarakan Luka Para Perempuan Lewat Layar

Penyajian film terasa semakin intens melalui teknik pengambilan gambar yang banyak menggunakan metode one shot dan long take . Pendekatan ini berhasil menangkap emosi serta adegan dengan lebih autentik dan mentah. Meskipun, tak dimungkiri ada beberapa pergantian babak dan angle yang tampak berantakan dan tidak berjalan dengan mulus. 

Namun, semua itu sedikit terbayarkan dengan lanskap Pulau Rote yang indah yang menjadi setting cerita film. Menariknya, keindahan alam tersebut ditampilkan secukupnya sesuai kebutuhan cerita yang mengeksplorasi latar alam dan budaya lokal. Selain itu, pada beberapa plot cerita film juga tampak kurang memiliki kausalitas yang kuat untuk penonton menyaksikan adegan demi adegan.

Kendati terdapat beberapa kekurangan, hal tersebut tidak mengurangi esensi utama dari cerita film Women From Rote Island. Film ini secara jelas ingin menyuarakan isu pengungkapan kekerasan seksual terhadap perempuan yang kini patut menjadi perhatian serius semua pihak.

Namun, lewat medium film suara-suara yang selama ini tak terdengar mulai menemukan ruang. Ide kreatif dalam film menjadi alat perlawanan yang kuat mengguncang kesadaran masyarakat, menyoroti ketidakadilan sistemik, serta menggugah empati masyarakat. Pelecehan terhadap perempuan bukan hanya persoalan individu, tetapi masalah struktural yang perlu disadari bersama.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *