
Kesehatan Mental Kreator Konten
Kreator Industri kreatif Indonesia saat ini tengah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sektor ini menyumbang lebih dari Rp1.300 triliun terhadap PDB nasional pada tahun 2023, dan dengan kontribusi lebih dari 27 juta tenaga kerja pada tahun 2025. Namun, di balik pencapaian tersebut, terdapat persoalan yang kerap luput dari sorotan: kesehatan mental para pelaku industri kreatif.
Keseharian kreator yang tampak penuh warna, ekspresi seni, dan fleksibilitas kerja ternyata menyimpan tantangan besar. Di tengah tekanan untuk terus produktif, mengikuti tren media sosial, dan memenuhi ekspektasi pasar, tidak sedikit pelaku kreatif yang mengalami kelelahan mental, stres berkepanjangan, hingga gangguan kecemasan. Dunia yang terlihat menyenangkan di permukaan, sering kali menyembunyikan pergulatan batin yang serius.
Tekanan untuk Terus Produktif di Era Digital
Tekanan utama yang dirasakan para pelaku industri kreatif saat ini adalah tuntutan untuk terus menciptakan sesuatu yang baru, relevan, dan menarik. Menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2025, 1 dari 5 orang Indonesia mengalami gejala gangguan mental, mulai dari kecemasan hingga depresi berat. Dalam wawancara dengan beberapa kreator digital muda, salah satunya Hikmal (22), seorang konten kreator desain grafis asal Malang, ia mengungkapkan bahwa algoritma media sosial membuatnya merasa “dikejar-kejar untuk terus ada di timeline.” “Kalau saya vakum seminggu saja, engagement bisa drop. Klien juga bisa beralih ke kreator lain,” ujarnya.
Tidak hanya individu, bahkan agensi kreatif dan startup di bidang konten pun mengakui tekanan untuk cepat, responsif, dan viral. Budaya kerja yang menghargai kecepatan lebih dari kualitas justru memperburuk kondisi ini. Banyak pelaku industri yang terjebak dalam jam kerja tak menentu dan tidak memiliki ruang untuk rehat.
Menurut riset WHO pada tahun 2025 mencatat bahwa 35% pekerja di perkotaan melaporkan mengalami burnout kronis, sementara anak muda berusia 15-24 tahun mengalami peningkatan gangguan kecemasan sebesar 40% dibandingkan era pra-pandemi.

Budaya Hustle dan Glorifikasi Produktivitas
Media sosial juga turut menciptakan narasi-narasi yang memuliakan kerja tanpa henti. Ungkapan seperti “kerja keras tak kenal lelah,” “tidur itu untuk yang lemah,” atau “kalau kamu istirahat, orang lain sudah lebih dulu sukses,” menjadi mantera yang tanpa sadar menekan mental para kreator muda.
Fenomena ini disebut sebagai hustle culture, budaya kerja ekstrem yang menormalkan kelelahan sebagai bagian dari sukses. Menurut Psikolog Klinis dr. Intan Meilani, glorifikasi produktivitas ini menciptakan ilusi bahwa nilai diri seseorang hanya ditentukan oleh seberapa banyak ia berkarya. “Ketika jeda dianggap sebagai kemunduran, maka kelelahan mental menjadi hal yang dianggap biasa, padahal berbahaya,” ujarnya.
Minimnya Perlindungan dan Sistem Pendukung
Di sisi lain, pekerja kreatif sering kali berada di luar sistem perlindungan tenaga kerja formal. Banyak dari mereka adalah freelancer, pekerja lepas, atau wirausaha mikro yang tidak memiliki jaminan kesehatan, cuti sakit, atau kontrak kerja yang jelas. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan, namun tidak memiliki akses bantuan yang memadai.
Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), masalah kesehatan mental diakui sebagai bagian dari keselamatan dan kesehatan kerja. Namun,penerapannya belum menjangkau sektor informal seperti industri kreatif mandiri. Harapannya implementasi dan pengawasan terhadap peraturan ini perlu ditingkatkan.
Aisyah (21), seorang content creator asal Surabaya, bercerita bahwa ia sempat mengalami serangan panik selama sebulan penuh. “Tapi aku tetap harus kerja, karena kalau nggak upload, aku nggak dapet fee dari brand. Nggak ada yang gantiin aku juga.” Pengalaman Aisyah mencerminkan kenyataan bahwa banyak pelaku kreatif yang bekerja sendiri tanpa dukungan tim atau struktur.
Inisiatif Positif: Komunitas dan Ruang Aman
Seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, berbagai komunitas dan platform di Indonesia mulai menyediakan ruang aman bagi para pelaku industri kreatif untuk berbagi dan mendapatkan dukungan.
Salah satu contoh adalah komunitas Born to Inspire, yang aktif di media sosial dan rutin mengadakan sesi refleksi serta diskusi daring mengenai burnout dan self-care di kalangan kreator. Komunitas ini bertujuan untuk membangun mindset positif dan kebiasaan yang mendukung kesehatan mental para anggotanya.
Menariknya, komunitas Born to Inspire akan menyelenggarakan Konser Pulih, sebuah acara musik dan ruang pemulihan emosional yang menggabungkan pertunjukan seni dengan pesan-pesan kesehatan mental. Konser ini dijadwalkan berlangsung pada 31 Mei 2025 jam 14:00 WIB, di Malika Ballroom, Sleman City Hall, Yogyakarta. Menghadirkan musisi “IDGITAF” yang peduli pada isu psikologis, sekaligus mengadakan sesi refleksi bersama psikolog. Tujuan utama acara ini adalah untuk menciptakan ruang aman, menyuarakan pentingnya pemulihan batin, dan merayakan keberanian dalam menghadapi tantangan mental.
Selain itu, platform Edupotensia Counseling menyediakan layanan konseling online dan offline yang aman dan rahasia, dengan waktu yang fleksibel sesuai kebutuhan pengguna. Layanan ini dirancang untuk memberikan pendampingan profesional bagi individu yang mengalami tekanan dalam dunia kerja kreatif.
Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) juga mulai melirik isu kesehatan mental. Pada tahun 2025, Kemenparekraf mengelompokkan program unggulan dalam empat klaster, salah satunya fokus pada pengembangan sumber daya manusia yang mencakup aspek kesejahteraan, termasuk kesehatan mental. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menciptakan ekosistem industri kreatif yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Kreativitas yang Sehat Dimulai dari Ekosistem yang Peduli
Industri kreatif Indonesia adalah kekuatan ekonomi baru yang patut dibanggakan. Namun, keberhasilan industri ini tidak boleh dibangun di atas kelelahan dan kesehatan mental yang terabaikan. Dibutuhkan kesadaran kolektif dari pemerintah, komunitas, hingga individu pelaku kreatif untuk menciptakan ekosistem kerja yang lebih manusiawi dan mendukung kesejahteraan mental.
Langkah-langkah seperti normalisasi istirahat, pengakuan terhadap kesehatan mental sebagai hak dasar pekerja, dan pembentukan sistem dukungan yang berkelanjutan bukan lagi hal idealis, melainkan kebutuhan yang mendesak. Karena di balik karya kreatif yang luar biasa, ada manusia yang juga butuh ruang untuk beristirahat.