Rumah Botol, (Fatyanosa)

Rumah Botol Ridwan Kamil: Kreativitas dan Harapan Baru

Rumah Botol Ridwan Kamil, (Yulichowati)

Sebuah rumah di Bandung, Jawa Barat, menjadi contoh nyata bagaimana inovasi arsitektur dapat berjalan seiring dengan kepedulian terhadap Bumi di tengah-tengah kebingungan global tentang masalah lingkungan. Ridwan Kamil, seorang arsitek dan mantan gubernur Jawa Barat, membuat “Rumah Botol”, yang kini menjadi perhatian publik karena dinobatkan sebagai salah satu rumah paling ramah lingkungan di Asia.

Rumah yang Lahir dari Sampah Botol Kaca

Rumah Botol dibangun di lahan seluas 373 meter persegi selama dua tahun. Di bagian dalam dan luar ruangan, botol kaca disusun secara rapi dengan sebagian besar bagian belakang menghadap ke luar.

Bukan sekadar rumah, Rumah Botol adalah manifestasi dari mimpi tentang keberlanjutan. Rumah ini dibangun pada tahun 2005 dan dindingnya terbuat dari sekitar tiga puluh ribu botol air mineral. Botol-botol ini sengaja dipilih untuk meningkatkan sirkulasi udara dan memaksimalkan pencahayaan alami.

Rumah Botol Ridwan Kamil terbuat dari 60% botol kaca bekas, ide awalnya berasal dari sampah botol kaca yang berserakan di sekitarnya.

Dilansir dari detik.com Ridwan Kamil mengatakan “Ide bisa berasal dari mana saja. Botol minuman energi itu sering dikonsumsi oleh pekerja yang membangun rumah saya pada saat itu. Setelah waktu berlalu, botol-botol menjadi sampah. Dari sana mulai muncul ide-ide, terutama ketika terpapar sinar matahari yang menarik juga.”

Baca Juga: Tye Coffee House Menyulam Kayu Rotan Menjadi Kehangatan

Arsitektur Fungsional dan Estetis

Menggunakan botol bekas sebagai bahan bangunan mungkin terdengar ekstrem. Namun, di tangan Ridwan Kamil, ide itu justru menghasilkan sebuah karya arsitektur yang fungsional dan estetis. Dengan teknik khusus, botol disusun sedemikian rupa sehingga memberikan tekstur khusus pada dinding dan membiarkan cahaya matahari masuk dengan hangat tetapi tetap teduh.

Desain Pasif

Selain itu, Rumah Botol dibangun dengan prinsip desain pasif, yang berarti suhu ruangan diatur secara alami tanpa bergantung pada perangkat elektronik seperti AC. Udara mengalir bebas melalui sela-sela botol, membuat rumah tetap sejuk meskipun cuaca luar sangat panas.

Konsep ini jelas jauh melampaui konsep “eco-friendly” konvensional. Rumah botol tidak hanya mengurangi jumlah energi yang dikonsumsi, tetapi juga memperpanjang siklus hidup material yang biasanya dibuang di tempat sampah.

Sejak tahun 2005, dia telah mengumpulkan botol bekas sebelum membangun rumah. Selain sampahnya sendiri Ridwan Kamil juga mengambil dari pemulung di sekitar Bandung.

“Saya mendapatkan botol dari pemulung di Bandung dan beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat. Saya ingat dulu saya membeli satu botol seharga Rp 50,” ujar Ridwan Kamil.

Ia menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan seharusnya dimulai dari hal-hal kecil yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, seperti menggunakan energi terbarukan, menggunakan material bekas, dan menjaga keseimbangan antara bangunan dan ruang hijau.

Konsep keberlanjutan yang diusung Rumah Botol menjadi semakin relevan saat ini, hampir dua dekade setelah berdirinya rumah tersebut. Karya ini menjadi bukti nyata di tengah krisis iklim yang kian mendesak bahwa solusi kreatif dapat datang dari gagasan sederhana yakni memanfaatkan apa yang sudah ada.

“Kadang-kadang dalam dunia arsitektur eksperimen itu ya di lapangan. Dengan jarak 80 cm antara besinya, pada sela-sela botol diberi lem kaca. Di sisi lain, tutupnya yang terbuat dari kayu terus diberi lem untuk mencegah air masuk,” ujar pria yang saat itu menjabat sebagai kurator Ibu Kota Nusantara (IKN).

Mendorong Budaya Daur Ulang di Indonesia

Kesuksesan Rumah Botol memiliki dampak besar pada kampanye daur ulang di Indonesia. Banyak komunitas kreatif mulai menggunakan bahan bekas dalam proyek mereka. Ini termasuk furnitur, dekorasi interior, dan tempat seni publik.

Sekarang, banyak proyek pembangunan di Indonesia mulai menggunakan gagasan ini. Prinsip keberlanjutan menjadi semakin penting bagi lebih banyak arsitek dan startup lingkungan yang mengembangkan konsep berbasis ekonomi sirkular.

Baca Juga: Ecoprint, Inovasi Pewarnaan Alami untuk Fashion Berkelanjutan

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *